(Jakarta) – Mantan Dirjen Pengawasan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Depnakertrans Marudin SM Manihuruk divonis empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta dengan subsider 3 bulan kurungan terkait kasus korupsi audit investigasi tenaga kerja asing di Indonesia.
Sementara terdakwa dua, Kasubbag Evaluasi dan Pelaporan Sesditjen PPK Depnakertrans Suseno Tjiptono Mantoro divonis satu tahun setengah, denda Rp 50 juta dengan subsider 3 bulan kurungan.
Dalam putusan yang dibacakan mejelis hakim yang diketuai Martini Marja tersebut, Manihuruk diwajibkan mengganti uang sebesar Rp 980 juta dengan konpensasi tanah serta bangunan yang dimiliki dan uang pengganti ini harus diserahkan satu bulan setelah memiliki hukum tetap.
Sementara terdakwa dua, Kasubbag Evaluasi dan Pelaporan Sesditjen PPK Depnakertrans Suseno Tjiptono Mantoro divonis satu tahun setengah, denda Rp 50 juta dengan subsider 3 bulan kurungan.
Dalam putusan yang dibacakan mejelis hakim yang diketuai Martini Marja tersebut, Manihuruk diwajibkan mengganti uang sebesar Rp 980 juta dengan konpensasi tanah serta bangunan yang dimiliki dan uang pengganti ini harus diserahkan satu bulan setelah memiliki hukum tetap.
Setelah mendengar putusan hakim, Manihuruk langsung naik banding. “Memang kalau mau menzalimi saya tidak ada masalah, apakah harus naik banding, harus dong,” tegas Manihuruk kepada wartawan di Tipikor, Jl. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Selasa (29/4).
Selain itu, Manihuruk juga mempertanyakan kualitas dari Tipikor. “Apakah pengadilan tinggi sama kualitasnya dengan di sini (tipikor-red), tidak tahu sistem anggaran, ya itu yang saya mau tes, aneh penyidiknya tidak tahu sistem anggaran, jaksa dan hakimnya juga tidak mengerti,” ujar Manihuruk.
Manihuruk menjelaskan, Sebenarnya dirinyalah yang ingin membongkar korupsi, “Saya yang berniat membongkar korupsi, dan koruptornya sudah merajalela sekarang, malah saya dimasukkan ke bui.”
Ditempat yang sama, majelis hakim menyatakan bahwa, terdakwa satu selaku penanggungjawab program terbukti melanggar dakwaan subsider yang diajukan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni, menyalahgunakan wewenang serta memperkaya diri sendiri sebesar Rp 1,5 miliar dan orang lain yakni Akuntan Publik Johan Barus selaku rekanan Depnakertrans sebesar Rp 1,4 miliar dalam proyek tersebut.
Sementara itu, terdakwa dua, atasan langsung bendahara pada Sekditjen PPK selaku Pimpro Audit Investigasi Tenaga Kerja Asing (TKA) mendapat bagian Rp 3 juta.
Menurut pertimbangan majelis hakim Tipikor Jakarta, pekerjaan pengadaan jasa audit Investigasi senilai Rp 9,2 miliar tersebut seharusnya tidak boleh menunjuk langsung kantor akuntan publik Johan Barus karena tidak masuk kriteria yang sebagaimana diatur dalam Keppres yang termasuk kriteria pekerjaan dalam keadaan darurat dan penyedia jasa tunggal.
Selain itu, menurut majelis hakim, kedua terdakwa telah terbukti bersalah secara bersama menyiapkan dokumen fiktif dalam pelaporan dan pertanggungjawaban penggunaannya. (Subhan/Dhita/Politik-Hukum)
Selain itu, Manihuruk juga mempertanyakan kualitas dari Tipikor. “Apakah pengadilan tinggi sama kualitasnya dengan di sini (tipikor-red), tidak tahu sistem anggaran, ya itu yang saya mau tes, aneh penyidiknya tidak tahu sistem anggaran, jaksa dan hakimnya juga tidak mengerti,” ujar Manihuruk.
Manihuruk menjelaskan, Sebenarnya dirinyalah yang ingin membongkar korupsi, “Saya yang berniat membongkar korupsi, dan koruptornya sudah merajalela sekarang, malah saya dimasukkan ke bui.”
Ditempat yang sama, majelis hakim menyatakan bahwa, terdakwa satu selaku penanggungjawab program terbukti melanggar dakwaan subsider yang diajukan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni, menyalahgunakan wewenang serta memperkaya diri sendiri sebesar Rp 1,5 miliar dan orang lain yakni Akuntan Publik Johan Barus selaku rekanan Depnakertrans sebesar Rp 1,4 miliar dalam proyek tersebut.
Sementara itu, terdakwa dua, atasan langsung bendahara pada Sekditjen PPK selaku Pimpro Audit Investigasi Tenaga Kerja Asing (TKA) mendapat bagian Rp 3 juta.
Menurut pertimbangan majelis hakim Tipikor Jakarta, pekerjaan pengadaan jasa audit Investigasi senilai Rp 9,2 miliar tersebut seharusnya tidak boleh menunjuk langsung kantor akuntan publik Johan Barus karena tidak masuk kriteria yang sebagaimana diatur dalam Keppres yang termasuk kriteria pekerjaan dalam keadaan darurat dan penyedia jasa tunggal.
Selain itu, menurut majelis hakim, kedua terdakwa telah terbukti bersalah secara bersama menyiapkan dokumen fiktif dalam pelaporan dan pertanggungjawaban penggunaannya. (Subhan/Dhita/Politik-Hukum)



Tidak ada komentar:
Posting Komentar