| UTAMA | | ENGLISH | | BERITA FOTO | | ULASAN | | DIALOG | | REDAKSI | | RISET - POLLING |

28 April 2008

Wisata Bahari di Kepulauan Seribu

Sebuah papan bertuliskan "Pulau Onrust: Pulau Tanpa Istirahat yang Telah Istirahat" menyambut kedatangan para pengunjung di pulau itu. Onrust dalam bahasa Belanda berarti "tanpa istirahat" atau "sibuk". Ini merupakan gambaran situasi pulau pertama Indonesia yang didatangi Belanda di abad 17-19. Tetapi, ketika rombongan Wisata Bahari akhir bulan lalu mengunjungi pulau itu, suasana mencekam, sunyi, dingin, dan suram menyambut. Dari balik reruntuhan bangunan dan makam tua yang membisu dan satu persatu mulai luluh dimakan waktu, tak terbayang bila dulu pulau itu tak pernah beristirahat.

Sejarah panjang mewarnai kehidupan masa lampau di Onrust. Kehadiran Inggris di sana pada tahun 1800 yang kemudian memusnahkan seluruh aktivitas perkapalan dan perdagangan yang dirintis Belanda di sana merupakan awal dari tidur panjang Pulau Onrust. Sejak itu, Onrust mulai berkurang peranannya. Bahkan, melihat kondisinya saat ini, pulau Onrust dapat dikatakan telah mati.

Onrust hanya menyisakan sejuta kisah indah masa lalu, saat periode keemasan kolonial Belanda, hingga sejumlah kisah memilukan yang luput dari perhatian masyarakat. Sejumlah tahanan politik dan kriminal dieksekusi mati oleh penguasa di sana. Salah satunya adalah tokoh DI/TII, Kartosuwiryo, yang dieksekusi dan dimakamkan di pulau itu.

Wisata Bahari yang diselenggarakan Museum Bahari pada akhir pekan bulan lalu diikuti 50 orang peserta untuk kembali menghayati kehidupan masa lampau yang pernah mewarnai kehidupan Onrust. Selain Onrust, tiga pulau lain di kawasan Pulau Seribu yang sarat sejarah, yaitu Pulau Edam, Pulau Bidadari, dan Pulau Cipir juga dikunjungi. Serunya, kunjungan ke empat pulau itu dilakukan dengan menggunakan perahu tradisional Bugis, Phinisi. Meski berjalan lambat dibandingkan dengan kapal bermesin jet, perjalanan menggunakan kapal itu mampu memberikan makna sesungguhnya tentang kehidupan bahari bagi para peserta wisata.

Kegiatan tersebut memang sengaja ditujukan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap warisan budaya bahari bangsa, yang saat ini bisa dikatakan hampir terlupakan. ''Diharapkan, melalui kegiatan ini masyarakat lebih memahami pentingnya keberadaan beberapa pulau yang terdapat di kawasan Kepulauan Seribu itu bagi sejarah dan menjadikannya sebagai destinasi wisata alternatif yang menarik, mendidik, dan menyenangkan,'' ujar Kepala Museum Bahari, Husen Muhammad.

Pulau pertama yang dikunjungi dalam rangkaian Wisata Bahari adalah Pulau Edam atau sering disebut juga Pulau Damar Besar. Di pulau yang berjarak sekitar 8 mil dari bibir pantai pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, terdapat sejumlah bangunan tua, gudang peluru, kuburan bersejarah dan sebuah mercusuar. Sebetulnya, pulau Edam merupakan pulau tertutup untuk umum karena di puncak mercusuar terdapat instalasi pemancar pesawat terbang. Mercusuar itu juga berfungsi sebagai navigator bagi pelayaran laut di sekitar lepas pantai Jakarta.

Menurut keterangan Kepala Sub Dinas Pengkajian dan Pengembangan, Dinas Kebudayaan dan Permusiuman DKI Jakarta, Chandrian A, yang menjadi pemandu tur tersebut, pulau Edam di zaman penjajahan Belanda difungsikan sebagai salah satu benteng pertahanan lepas pantai mereka. "Pada tahun 1950-an, Edam dialihfungsikan sebagai asrama bagi anak-anak yatim piatu, gelandangan dan nakal. Seringkali mereka berupaya melarikan diri dari pulau itu menuju Tanjung Priok menggunakan kayu dan batang pisang untuk menyeberangi lautan,'' ujar Chandrian.

Kondisi Pulau Edam yang penuh semak belukar ini membuat pemandu melarang keras para peserta untuk merokok. Karena sedikit saja ada percikan api, kemungkinan dapat menyambar semak dan dedaunan kering ini terbakar. Selain peninggalan Belanda, di Edam juga terdapat kuburan yang diangap keramat oleh para nelayan. Seorang perempuan yang bernama Neng Syarifah Fatimah yang merupakan anak seorang Raja Makassar dimakamkan di situ.

Peristirahatan

Setelah mengunjungi Pulau Edam yang tanpa penghuni, rombongan Wisata Bahari menuju ke Pulau Bidadari untuk menikmati makan siang sekaligus melihat situs bersejarah. Di Pulau yang telah menjelma menjadi sebuah pulau peristirahatan (resort) ini terdapat peninggalan Belanda, yaitu benteng Mortello, yang dibangun pada tahun 1898. Bentang bundar ini sudah rusak parah dimakan waktu dan juga penjarahan oleh penduduk sekitar di tahun 1960-an.

Meski sekarang Bidadari menjadi pulau cantik dengan fasilitas berlibur yang lengkap, dulunya Bidadari lebih dikenal dengan nama Pulau Sakit. Karena pada tahun 1679 Rumah Sakit Kusta yang berada di Angke dipindahkan ke pulau itu, dan sejak tahun 1790, tidak hanya penderita kusta yang dibawa ke sini, tetapi juga penderita penyakit lain. Sejak diputuskan menjadi tujuan wisata, barulah Pulau Sakit berubah nama menjadi Pulau Bidadari.

Usai mengisi perut, perjalanan diteruskan menuju Pulau Onrust yang hanya ditempuh dengan jarak waktu setengah jam dari Pulau Bidadari. Onrust, menurut Chandrian merupakan tonggak penetapan masa penjajahan Belanda di Indonesia selama 350 tahun. ''Tentara VOC pertama tiba di Pulau Onrust pada tahun 1619, sebelum tiba di Batavia (Jakarta). Artinya, kedatangan pertama bangsa Belanda sebelum ke Batavia untuk menaklukan tanah air adalah di Pulau Onrust. Karena itu, Onrust menjadi titik awal masa penjajahan Belanda,'' ujar Chandrian.

Selain difungsikan sebagai pusat perbaikan kapal, perdagangan, dan pertahanan, Onrust juga pernah dijadikan sebagai tempat pengasingan jemaah haji yang berpenyakit, pada masa penjajahan Belanda. ''Jadi, untuk Indonesia, pengaturan tentang pemberangkatan dan pemulangan jamaah haji Indonesia dilakukan oleh penjajah Belanda. Karantina bagi jamaah haji yang pulang dari tanah suci dilakukan karena kerap ditemukan berbagai penyakit baru yang mereka bawa, seperti penyakit kencing tikus (leptospirosis), dan TBC,'' ujar Chandrian.

Pulau terakhir yang dikunjungi adalah Pulau Cipir, yang dulunya digunakan sebagai tempat karantina haji, selain mereka yang ditampung di Onrust. Kedatangan rombongan wisata Bahari di petang hari, membuat suasana tanpa nyaris listrik ini membangkitkan aura seram. Perjalanan seharian yang melelahkan memberikan kesan indah yang unik bagi para peserta wisata. Harun Anwar (40), salah seorang peserta mengaku puas dengan rangkaian kegiatan Wisata Bahari.

''Saya memang mencari wisata alternatif yang beda dari biasanya. Saya sudah bosan pergi ke puncak, selain terlalu sering juga malas terjebak macet. Kalau wisata bahari pasti bebas macet sekaligus mengetahui sejarah," kata Harun yang sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan asuransi di Jakarta. Jadi? Ayo berwisata sejarah ke Kepulauan Seribu. (sumber : Suara Pembaruan)

Tidak ada komentar: