| UTAMA | | ENGLISH | | BERITA FOTO | | ULASAN | | DIALOG | | REDAKSI | | RISET - POLLING |

04 Juni 2008

Revitalisasi Pendidikan Kemanusiaan


Ketika sendi-sendi kehidupan bangsa ini digoyang oleh berbagai macam aksi kekerasan, kerusuhan, anarkhi, destruktif, bahkan telah terkontaminasi “virus” disintegrasi sosial, kesadaran nurani kita mulai tersentuh akan pentingnya makna pendidikan hakiki. Banyak kalangan mulai melihat bahwa model pendidikan yang tidak berbasiskan kemanusiaan akan berdampak pada munculnya potensi konflik, chaos, dan ketegangan di tengah-tengah masyarakat.

Secara jujur mesti diakui, selama bertahun-tahun, dunia pendidikan kita terpasung di persimpangan jalan; tersisih di antara ingar-bingar ambisi penguasa yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Pendidikan tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara utuh lahir dan batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, dan emosi. Akibatnya, apresiasi out-put pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani menjadi nihil. Mereka telah menjadi sosok pribadi yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistis, dan mau menang sendiri.

Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan regulasi yang tidak memihak rakyat. Keluaran pendidikan tidak digembleng untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan an-sich.

Dalam konteks yang demikian itu, pendidikan kita setidaknya telah melahirkan manusia-manusia berkarakter oportunis, penjilat, hipokrit, hedonis, besar kepala, tanpa memiliki kecerdasan hati, emosi, dan nurani. Tidaklah mengherankan jika kasus-kasus yang merugikan negara, KKN, misalnya, justru sering melibatkan orang-orang berdasi yang secara formal berpendidikan tinggi. Ini artinya, secara implisit, model pendidikan kita selama ini setidaknya telah memiliki andil terhadap merajalelanya ulah KKN yang menyebabkan negara kita tergolong sebagai salah satu negara di dunia yang cukup tinggi tingkat korupsinya.

Sementara itu, model pendidikan yang lebih memacu kecerdasan otak ketimbang emosi dinilai juga telah menimbulkan masalah tersendiri di lapisan masyarakat akar-rumput. Pendidikan dasar dan menengah yang idealnya mampu menjadi basis penyemaian dan penyuburan nilai-nilai luhur baku dan hakiki kepada siswa didik, menjadi sangat tidak berdaya akibat tidak relevannya antara tuntutan kurikulum dan kondisi lokal.

Bobot kurikulum yang telah dikemas secara monolitis dan sentralistis telah menyebabkan nilai-nilai kearifan lokal tidak bisa berkembang. Para peserta didik “dipaksa” menerima cekokan materi dan pengetahuan kognitif yang sangat jauh dengan pengalaman dan kenyataan mereka sehari-hari. Akibatnya, mereka menjadi kehilangan ruang berkreasi, kemerdekaan berprakarsa, dan mengembangkan jatidirinya. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka justru terjebak dalam atmosfer pendidikan yang kaku, membosankan, dan tanpa gairah. Suasana pendidikan yang kurang kondusif semacam itu jelas mengingkari makna dan hakikat pendidikan dalam memanusiakan manusia, membentuk manusia yang berpikir dan berjiwa merdeka, bebas dari tekanan dan paksaan.

Makna pendidikan yang hakiki merujuk pada sebuah kondisi yang mampu memberikan ruang kesadaran kepada peserta didik untuk mengembangkan jatidirinya melalui sebuah proses yang menyenangkan, terbuka, tidak terbelenggu dalam suasana monoton, kaku, dan menegangkan. Diakui atau tidak, pendidikan kita selama ini belum sanggup melahirkan generasi yang utuh jatidirinya. Mereka memang cerdas, tetapi kehilangan sikap jujur dan rendah hati. Mereka terampil, tetapi kurang menghargai sikap tenggang rasa dan toleransi. Imbasnya, nilai-nilai kesalehan, baik individu maupun sosial, menjadi sirna.

Atmosfer pendidikan yang kurang kondusif semacam itu diperparah dengan situasi lingkungan yang serba permisif, apatis, dan masa bodoh. Pada sisi yang lain, institusi keluarga yang mestinya menjadi penanam nilai-nilai religi, kultural, dan kemanusiaan, dinilai juga telah tereduksi oleh berbagai kesibukan orang tua dalam memburu standar hidup dan gebyar materi. Persoalan pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan formal.

Beranjak dari konteks ini, memang tidak berlebihan kalau ada yang menilai bahwa maraknya konflik horisontal di berbagai penjuru tanah air seperti yang pernah, bahkan sering kita saksikan, salah satu penyebabnya ialah gagalnya institusi pendidikan dalam menjalankan fungsinya sebagai pencetak generasi yang utuh lahir dan batin. Dunia pendidikan dinilai hanya sarat muatan kognitif, teoretis, dan penalaran, tanpa menyentuh aspek-aspek humaniora. Persoalan-persoalan moral dan budi pekerti menjadi luput dari perhatian. Lahan pendidikan humaniora dipersempit, bahkan dikepras, sedangkan muatan materi yang mengedepankan akal dan penalaran diberi bobot terlalu berlebihan.

Setelah era reformasi mulai menunjukkan titik terang dalam menguak tabir politik, ekonomi, dan hukum, sudah tiba saatnya untuk mengurai simpul dasar yang memasung tubuh pendidikan kita. Setidaknya, harus ada “kemauan politik” untuk melakukan revitalisasi pendidikan kemanusiaan, yakni pendidikan yang mampu melahirkan generasi yang tinggi tingkat apresiasinya terhadap sikap jujur, adil, demokratis, rendah hati, sederhana, dan kreatif.

Pengalaman selama bertahun-tahun telah memberikan pelajaran berharga bahwa pendidikan yang tidak berbasiskan kemanusiaan hanya akan melahirkan manusia yang cerdas dan terampil, tetapi kehilangan hati nurani dan perasaan. Ini artinya, revitalisasi pendidikan kemanusiaan semakin urgen dan relevan untuk diimplementasikan di tingkat praksis agar tidak terapung-apung dalam bentangan slogan, retorika, dan jargon belaka.

Sungguh terasa ironis kalau bangsa kita yang selama ini dokenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi, mengagungkan keluhuran budi, dan kesantunan berperilaku, akhirnya terjebak menjadi bangsa bar-bar, “kanibal”, dan pendendam, hanya lantaran pendidikan yang salah urus. Agaknya, sudah sangat mendesak dunia pendidikan kita disentuh oleh hal-hal yang bersifat humanistis dan religius.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Kapan Indonesia mau maju anggaran pendidikan aja sedikit. Sebaiknya pemerintah itu lebih perhatian kepada pendidikan. Karena pendidikan adalah modal kebangkitan bangsa.
oiya pasang widget infogue.com. Bisa nambah pengunjung lho.
http://pendidikan.infogue.com/revitalisasi_pendidikan_kemanusiaan