(Jakarata) – Mekanisme cuti yang diberlakukan untuk pejabat negara saat masa kampanye paratai politiik di Pemilu 2009 dinilai sebagai kompromi politik Presiden agar tidak ditinggalkan menteri-menterinya.
“Kalau tidak ada mekanisme cuti berarti mereka (menteri) harus mengundurkan diri, dan, kabinet tanpa menteri itu bukan kabinet, juga bisa menimbulkan perkara baru, “ ujar pengamat Politik Universitas Airlangga Daniel Sparingga di Jakarta, Selas (8/7)
Menurut Daniel, yang lebih penting adalah melakukan pengawasan terhadap kegiatan kampanye yang dilakukan pejabat negara tersebut, “Memastikan para menteri yang berkampanye tidak memanfaatkan posisi dan fasilitas yang melekat pad jabatan itu,” ujarnya.
Meskipun Daniel pesimis mekanisme pengawasan yang baik bisa diciptakan, namun ia menyebut pelarangan menteri menggunakan fasilitas negara yang sama ketika melakukan kunjungan kerja pada masa kampanye. “Tidak mudah. Ini merupakan implikasi yang tidak terhindarkan dari kabinet yang diisi oleh pejabat parpol,” ujarnya.
Daniel mengatakan media masa bisa menjadi sarana mekanisme panagwas yang produkti selain institusi yang berwenag seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), “Jika itu tidak bisa lagi dikontrol oleh regulator rule, maka yang berlaku adalah etika moralitas, “pungkasnya.
Peraturan KPU No.12 /2008 memperbolehkan pejabat negara mengambil cuti dua hari setiap minggu selama masa kampanye Pemilu 2009 namun tidak boleh berturut-turut, Secara total menteri bisa mengambil cuti 36 hari selama masa kampanye dan hal ini dikhawatikan mengganggu tugas menetri dalam melayani publik. (Mimie/Adi/Pol)
08 Juli 2008
Ijin Cuti Kampanye Agar Presdien Tidak Ditinggal Menterinya
Posting Time
8:10:00 PM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)



Tidak ada komentar:
Posting Komentar