(Jakarta) - Kekalahan kandidat yang didukung tokoh nasional yang berpengaruh seperti Gus Dur dan Megawati dalam pilkada Jawa Timur (Jatim) menunjukan telah terjadinya pergeseran perilaku pemilih di Jatim yang selama ini cenderung paternalistik menjadi pemilih yang relatif rasional.
Hal ini disampaikan pengamat politik dari the Habibie Center Siti Zuhro dalam seminar 'Refleksi Perjalanan Bangsa dan Konsolidasi dalam Menyongsong Pemilu 2009, di hotel Sahid, Jakarta, Kamis (31/7).
“Kelihatannya masyarakat sudah bisa membedakan bahwa kyai NU hanya cocok menjadi panutan di masjid sedangkan tidak cocok untuk jadi pemimpin politik. Masyarakat sudah mulai menggunakan logika,” kata Siti.
Menurut Siti, ini terjadi karena adanya fragmentasi kekuatan NU dalam pilkada. “Ini juga menyebabkan tidak munculnya satu kandidat yang mendapat dukungan massa secara solid dari nahdhiyin,” jelas Siti yang juga peneliti LIPI ini.
Faktor lainnya, lanjut Siti, memudarnya pengaruh tokoh nasional dalam pilkada. “Muncullah aktor lokal yang berperan cukup signifikan sebagai vote getter,” ungkapnya.
Siti menilai, meskipun pengalaman di masing-masing daerah berbeda dalam pilkada, secara umum menunjukan bahwa rakyat sangat mengharapkan adanya perubahan.
“Gugatan rakyat terhadap pemimpin yang tidak aspiratif, tidak akomodatif dan tidak akuntabel mencapai klimaksnya dalam pilkada seperti yang terjadi di bojonegoro. Munculnya gerakan people power melawan stastus quo akhirnya mampu menumbangkan incumbent (bupati dan wakilnya) yang juga mencalonkan diri dalam pilkada,” paparnya.(Nurseffi)
Hal ini disampaikan pengamat politik dari the Habibie Center Siti Zuhro dalam seminar 'Refleksi Perjalanan Bangsa dan Konsolidasi dalam Menyongsong Pemilu 2009, di hotel Sahid, Jakarta, Kamis (31/7).
“Kelihatannya masyarakat sudah bisa membedakan bahwa kyai NU hanya cocok menjadi panutan di masjid sedangkan tidak cocok untuk jadi pemimpin politik. Masyarakat sudah mulai menggunakan logika,” kata Siti.
Menurut Siti, ini terjadi karena adanya fragmentasi kekuatan NU dalam pilkada. “Ini juga menyebabkan tidak munculnya satu kandidat yang mendapat dukungan massa secara solid dari nahdhiyin,” jelas Siti yang juga peneliti LIPI ini.
Faktor lainnya, lanjut Siti, memudarnya pengaruh tokoh nasional dalam pilkada. “Muncullah aktor lokal yang berperan cukup signifikan sebagai vote getter,” ungkapnya.
Siti menilai, meskipun pengalaman di masing-masing daerah berbeda dalam pilkada, secara umum menunjukan bahwa rakyat sangat mengharapkan adanya perubahan.
“Gugatan rakyat terhadap pemimpin yang tidak aspiratif, tidak akomodatif dan tidak akuntabel mencapai klimaksnya dalam pilkada seperti yang terjadi di bojonegoro. Munculnya gerakan people power melawan stastus quo akhirnya mampu menumbangkan incumbent (bupati dan wakilnya) yang juga mencalonkan diri dalam pilkada,” paparnya.(Nurseffi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar