(Jakarta) – Amandemen Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah mencerminkan perubahan norma masyarakat Indonesia dan telah masuk dalam ranah demokrasi. Hak untuk merdeka menjadi ciri dari perubahan konstitusi tersebut.
Anggota Dewan Pers Bambang Harimurti menyatakan jika nilai kemerdekaan dirasa lebih tinggi daripada nilai reputasi seseorang, maka penjara merupakan tindakan yang terlalu eksesif untuk wartawan yang telah merampas reputasi seseorang.
“Jika nilai kemerdekaan tersebut lebih tinggi maka pasal yang bertentangan dengan konstitusi (bahwa warga berhak mendapatkan kemerdekaan) seharusnya dihapuskan,” tegas Bambang dalam sidang uji materi KUHP dan UUD 1945, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hari ini (23/7).
Menurut Bambang, penilaian terhadap reputasi seseorang seharusnya biarkan masyarakat yang menilai bukan orang per orang yang merasa reputasinya telah rusak yang menarik kesimpulan.
“Karena masyarakat tidak bodoh lagi, masyarakat kita sudah pandai memberi penilaian sendiri apakah reputasi seseorang telah rusak atau tidak,” jelasnya.
Bambang mencontohkan kasus yang menimpa presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004 silam. SBY dipecat Presiden Megawati dari posisi Menko Polkam tanpa alas an jelas, kemudian Taufik Kiemas, suami Megawati mengatakan SBY sebagai jenderal cengeng yang seperti anak kecil.
Kasus SBY yang dizalimi suami Megawati, nilai Bambang, malah membuat reputasinya semakin meningkat. “Jadi biarkan masyarakat yang menilai,” pungkas Bambang.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Bidang Pendidikan dan Pengembangan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Rizal Mustary juga mengatakan hukuman penjara dinilai akan memunculkan ketakutan pada publik untuk menyatakan pendapatnya.
“Tercabutnya hak publik dapat membuat wartawan apalagi masyarakat ketakutan untuk menyatakan pendapatnya. Jika penjara yang terbuka setiap saat untuk profesi wartawan jika melanggar pasal 310 dll,” tuturnya. (Mimie)
Anggota Dewan Pers Bambang Harimurti menyatakan jika nilai kemerdekaan dirasa lebih tinggi daripada nilai reputasi seseorang, maka penjara merupakan tindakan yang terlalu eksesif untuk wartawan yang telah merampas reputasi seseorang.
“Jika nilai kemerdekaan tersebut lebih tinggi maka pasal yang bertentangan dengan konstitusi (bahwa warga berhak mendapatkan kemerdekaan) seharusnya dihapuskan,” tegas Bambang dalam sidang uji materi KUHP dan UUD 1945, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hari ini (23/7).
Menurut Bambang, penilaian terhadap reputasi seseorang seharusnya biarkan masyarakat yang menilai bukan orang per orang yang merasa reputasinya telah rusak yang menarik kesimpulan.
“Karena masyarakat tidak bodoh lagi, masyarakat kita sudah pandai memberi penilaian sendiri apakah reputasi seseorang telah rusak atau tidak,” jelasnya.
Bambang mencontohkan kasus yang menimpa presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004 silam. SBY dipecat Presiden Megawati dari posisi Menko Polkam tanpa alas an jelas, kemudian Taufik Kiemas, suami Megawati mengatakan SBY sebagai jenderal cengeng yang seperti anak kecil.
Kasus SBY yang dizalimi suami Megawati, nilai Bambang, malah membuat reputasinya semakin meningkat. “Jadi biarkan masyarakat yang menilai,” pungkas Bambang.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Bidang Pendidikan dan Pengembangan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Rizal Mustary juga mengatakan hukuman penjara dinilai akan memunculkan ketakutan pada publik untuk menyatakan pendapatnya.
“Tercabutnya hak publik dapat membuat wartawan apalagi masyarakat ketakutan untuk menyatakan pendapatnya. Jika penjara yang terbuka setiap saat untuk profesi wartawan jika melanggar pasal 310 dll,” tuturnya. (Mimie)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar