(Jakarta) – Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai draft terbaru Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tipikor yang telah diselesaikan oleh pemerintah masih menuai masalah, karena membahayakan bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Dalam RUU tersebut masih memiliki celah-celah, yang pertama adanya celah hukum pada pasal 27 yang menyerahkan komposisi hakim ad-hoc dan hakim karir sepenuhnya pada Ketua Hakim Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Tinggi, dan Ketua MA,” ujar Peneliti Hukum ICW Febri Diansyah saat Diskusi RUU Tipikor di Gedung YLBHI, Jakarta, Senin (21/7).
Kedua, lanjut Febri, dalam RUU tersebut sama sekali tidak mengatur kemungkinan mekanisme pemindahan proses persidangan pada pengadilan di wilayah hukum lain.
Untuk itu, Febri merekomendasikan pada pemerintah agar merevisi bagian tersebut dan mengatur secara tegas komposisi hakim ad-hoc yang lebih dominan. “Rekomendasi yang kedua perlu ditambahkan pengaturan tentang mekanisme pemindahan proses persidangan untuk kasus korupsi tertentu,” jelas Febri.
Tawaran indikatornya, satu kasus yang penanganannya berpotensi kuat memengaruhi independensi dan imparsialitas hakim di daerah, sementara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara yang berkedudukan di Jakarta dalam pasal 27 RUU Tipikor tersebut menyebutkan, majelis terdiri dari hakim karir dan hakim ad-hoc.
“Komposisinya ditetapkan oleh Ketua pengadilan atau Ketua MA sesuai tingkatan dan kepentingan pemeriksaan perkara,” terang Febri.
Febri juga menambahkan, UU tersebut terlihat tidak mengatur secara tegas konsep afirmatif yang menghendaki jumlah hakim ad-hoc yang lebih dominan. “Misalnya tiga hakim ad-hoc dan dua hakim karir atau dua hakim ad hoc dan satu hakim karir,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Febri mengutarakan, berangkat dari rendahnya komitmen dan buruknya prestasi peradilan umum dalam pemberantasan korupsi, maka pasal 27 tersebut jelas mencoba melemahkan pemberantasan korupsi. “Dinilai menguntungkan sikap koruptor,” pungkasnya. (Taupik/Dhita)
“Dalam RUU tersebut masih memiliki celah-celah, yang pertama adanya celah hukum pada pasal 27 yang menyerahkan komposisi hakim ad-hoc dan hakim karir sepenuhnya pada Ketua Hakim Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Tinggi, dan Ketua MA,” ujar Peneliti Hukum ICW Febri Diansyah saat Diskusi RUU Tipikor di Gedung YLBHI, Jakarta, Senin (21/7).
Kedua, lanjut Febri, dalam RUU tersebut sama sekali tidak mengatur kemungkinan mekanisme pemindahan proses persidangan pada pengadilan di wilayah hukum lain.
Untuk itu, Febri merekomendasikan pada pemerintah agar merevisi bagian tersebut dan mengatur secara tegas komposisi hakim ad-hoc yang lebih dominan. “Rekomendasi yang kedua perlu ditambahkan pengaturan tentang mekanisme pemindahan proses persidangan untuk kasus korupsi tertentu,” jelas Febri.
Tawaran indikatornya, satu kasus yang penanganannya berpotensi kuat memengaruhi independensi dan imparsialitas hakim di daerah, sementara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara yang berkedudukan di Jakarta dalam pasal 27 RUU Tipikor tersebut menyebutkan, majelis terdiri dari hakim karir dan hakim ad-hoc.
“Komposisinya ditetapkan oleh Ketua pengadilan atau Ketua MA sesuai tingkatan dan kepentingan pemeriksaan perkara,” terang Febri.
Febri juga menambahkan, UU tersebut terlihat tidak mengatur secara tegas konsep afirmatif yang menghendaki jumlah hakim ad-hoc yang lebih dominan. “Misalnya tiga hakim ad-hoc dan dua hakim karir atau dua hakim ad hoc dan satu hakim karir,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Febri mengutarakan, berangkat dari rendahnya komitmen dan buruknya prestasi peradilan umum dalam pemberantasan korupsi, maka pasal 27 tersebut jelas mencoba melemahkan pemberantasan korupsi. “Dinilai menguntungkan sikap koruptor,” pungkasnya. (Taupik/Dhita)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar