(Dakar) – Kemiliteran Mauritania yang merampas kekuasaan pemerintah yang terpilih secara demokratis pada hari Rabu, mengatakan akan mengadakan pemilihan presiden yang bebas dan transparan dengan segera. Hal ini dilaporkan AFP.
“Pemilihan ini, yang akan diselenggarakan dalam periode terpendek yang memungkinkan, akan bebas dan transparan, dan akan membawa pada keberlanjutan masa depan serta fungsi yang harmonis dari seluruh kekuatan konstitusi,” demikian pernyataan yang dibacakan di radio nasional, Kamis (7/8).
Militer mengatakan akan, bersama dengan institusi lain, mengawasi penyelenggaraan pemilihan presiden yang memungkinkan diluncurkannya kembali proses demokrasi di Mauritania dan membentuknya kembali dengan landasan yang abadi.
Militer Mauritania melakukan kudeta, Rabu (6/8), di ibukota Nouakchott, dengan menahan Presiden Sidi Mohamed Ould Cheikh Abdallahi dan Perdana Menteri Yahya Ould Ahmed Waghf. Kudeta tersebut dilakukan setelah Presiden dan Perdana Menteri memecat empat orang pejabat militer negara di barat Afrika tersebut.
Segera sesudah kudeta dilancarkan, militer mengumumkan pembentukan Dewan Pemerintahan yang baru, karena Abdallahi dianggap tidak lagi menjadi presiden.
Dewan Pemerintahan kemudian mengeluarkan pernyataan, bahwa pemerintahan sementara akan dipimpin oleh mantan komandan pengawal Presiden Jenderal Mohamed Ould Abdel Aziz, salah satu diantara empat pejabat tinggi militer yang dipecat Abdallahi tanpa alasan jelas.
Dalam beberapa minggu terakhir, Abdallahi memang tengah menghadapi tuntutan legislatif yang menuding pemerintahannya buruk dan melakukan korupsi. Sebanyak 69 dari 95 anggota Parlemen Mauritania mendesak Abdallahi mundur dari jabatannya.
Sejak meraih kemerdekaan pada tahun 1960, Mauritania berkali-kali dihadapkan dengan upaya kudeta dan percobaan kudeta. (Xinhua,AP/Lala/Internasional)
“Pemilihan ini, yang akan diselenggarakan dalam periode terpendek yang memungkinkan, akan bebas dan transparan, dan akan membawa pada keberlanjutan masa depan serta fungsi yang harmonis dari seluruh kekuatan konstitusi,” demikian pernyataan yang dibacakan di radio nasional, Kamis (7/8).
Militer mengatakan akan, bersama dengan institusi lain, mengawasi penyelenggaraan pemilihan presiden yang memungkinkan diluncurkannya kembali proses demokrasi di Mauritania dan membentuknya kembali dengan landasan yang abadi.
Militer Mauritania melakukan kudeta, Rabu (6/8), di ibukota Nouakchott, dengan menahan Presiden Sidi Mohamed Ould Cheikh Abdallahi dan Perdana Menteri Yahya Ould Ahmed Waghf. Kudeta tersebut dilakukan setelah Presiden dan Perdana Menteri memecat empat orang pejabat militer negara di barat Afrika tersebut.
Segera sesudah kudeta dilancarkan, militer mengumumkan pembentukan Dewan Pemerintahan yang baru, karena Abdallahi dianggap tidak lagi menjadi presiden.
Dewan Pemerintahan kemudian mengeluarkan pernyataan, bahwa pemerintahan sementara akan dipimpin oleh mantan komandan pengawal Presiden Jenderal Mohamed Ould Abdel Aziz, salah satu diantara empat pejabat tinggi militer yang dipecat Abdallahi tanpa alasan jelas.
Dalam beberapa minggu terakhir, Abdallahi memang tengah menghadapi tuntutan legislatif yang menuding pemerintahannya buruk dan melakukan korupsi. Sebanyak 69 dari 95 anggota Parlemen Mauritania mendesak Abdallahi mundur dari jabatannya.
Sejak meraih kemerdekaan pada tahun 1960, Mauritania berkali-kali dihadapkan dengan upaya kudeta dan percobaan kudeta. (Xinhua,AP/Lala/Internasional)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar